Andalan

Janji Sang Waktu

Sesak,
Aku ingin segera beranjak,
Meninggalkan segalanya tanpa jejak.

Rindu,
Aku ingin segera bertamu,
Meneguk secangkir teh, bersama kasihku.

Jarak,
Rasa ini semakin mengerak,
Kampanya semakin berontak,
Aku kalah, telak.

Waktu,
Ku harap dikau penuhi segenap janjimu, pada sepasang insan yang tengah gaduh merindu.

Kota Udang, 11 Jumadal Akhiroh 1444 H

BEGITULAH SEHARUSNYA, CINTA.

Pada rinai hujan akan begitu banyak kau temukan,

Rindu yang menggigil pada celah kemarau yang aku.

Dengan deru yang menderas, semakin kamu.

Pada persimpangan jalan penantian yang tiadalah berkesudahan.

Seperti halnya sejuk sang hujan,

Yang jatuh menetes dari celah awan.

Hadirnya menghapuskan gumpal kecemasan, pun

Hitam legamnya suatu kesedihan.

Jatuhnya menjadi rindu,

Persembahan paling syahdu.

Basahnya untuk membasuh,

Luruhnya untuk bertumbuh.

Penuh keikhlasan, sama sekali tak mengharapkan apa-apa,

Selain kebahagian seluruh umat manusia.

Begitulah seharusnya, cinta.

Betapapun kau tau, Jarak yang seolah tengah mengutuk sebuah temu.

Menarik dua hati, tuk selalu memanjangkan rindu,

Mendekatkan waktu,

Bahkan menjadikanku memeluk do’a paling kamu.

Sederhananya,

Mendo’akanmu adalah caraku mencintaimu paling dalam.

Sedalam harsa yang kau berikan, pun daku rasakan.

Istimewanya,

Segenap kerindukan ku lampirkan namamu kepada Tuhan,

Kepada Dia, Sang Pemilik Kebahagiaan.

Salam dalam, pujangga amatiran.

DUA ARTI DALAM SECANGKIR KOPI

Maafkan diriku duhai hati,

Sebab acap kali dikau ku bohongi.

Maafkan diriku duhai hati,

Sebab selalu saja dikau ku jadikan korban, dalam pergumulan akal dan perasaan.

Sungguh, daku tak pernah sengaja melakukan.

Sebab kita hanya sebatas wayang yang dipaksa memainkan sebuah peran dalam kisah yang bertajuk kehidupan.

Asam, basa maupun garam kenyataan,

Harus berusaha ku telan, sendirian.

Riang mentari meredup, diterkam kabut hitam, kelam.

Dalam heningnya malam, tawa yang mencuat berubah menjadi derai tangis, tragis.

Apa yang ku takutkan,

Seolah tengah terjadi di hadapan.

Bak menyusuri trotoar waktu,

Sesak yang ku rasa beberapa bulan lalu kembali bertamu pada tandangku.

Kini, apa yang harus ku suguhkan tuan?

Secangkir kopi sebagai wujud pertahanan?

Atau justru secangkir kopi sebagai wujud pengunduran diri sang puan?

Duhai Tuhan, Terima kasih ku haturkan.

Atas segenap kekuatan, yang selalu saja Engkau hadiahkan,

Teruntuk hatiku yang pernah benar-benar hancur, berantakan.

Menyulam sebak dalam dada, Daku akan terus berusaha, ceria.

Salam dalam, pujangga amatiran.

Chandra di Malam Kelahiran Baginda

Buah Karya: Nurul Hikmah

Astu pun syukur ku panjatkan pada-Mu duhai Tuhan.

Atas segenap pangestu yang tlah Engkau anugrahkan.

Astu pun syukur ku panjatkan pada-Mu duhai Tuhan.

Atas segala ni’mat yang tlah Engkau limpahkan.

Duhai sang penyejuk sanubari..

Indah nian indurasmi malam ini,

Sungguh, mampu mengoyak kampa dalam hati.

Menarik ilusi, berharap mampu Engkau temui..

Meski hanya dalam mimpi.

Lingkar bianglala menghiasi sudut cakrawala..

Chandra baswara dengan begitu anindhita..

Saat nabastala tertangkap jelas oleh sepasang mata,

Yang tengah merasa dewana..

Padamu, duhai dayita Sang Pencipta.

Temaram dalam angan,

Daku terperanjat saat menyaksikan abhati tengah malam.

Yaa Rasulallah..

Daku terlelap memeluk rindu yang tak tertahan.

Yaa Habiballah..

Daku tenggelam dalam kerinduan, mendalam.

Salam dalam, pujangga amatiran.

Bagian 4 – Mengikhlaskan Suatu Kepergian

Sesak sekali rasanya, menanggung beban kesedihan mendalam. Air mata yang ku tahan, tak kuasa ku bendung terutama sehari sebelum perpisahan. Nyeri sekali hati ini, terlebih pada kesehatanku yang terbatas oleh kondisi.

Daku kau buat sesak, sampai seisi rumah ku repotkan sebab hampir saja ku direnggut kematian. Bukan karena daku ingin mengakhiri kehidupan, sama sekali bukan. Melainkan sebab beban pikiran yang berusaha membunuhku perlahan. Mencari-cari di manakah kiranya letak kesalahan, sampai-sampai daku kau acuhkan. Menanggung nyeri pada setiap pembenaran sepihak yang kau beri. Sungguh sekuat-kuatnya seorang aku, ikhwal perasaan aku begitu lunglai.

Kini, haruskah engkau ku ikhlaskan? Setelah susah payah ku dapatkan? Sungguh semua ini di luar dugaan seorang aku, yang agaknya terlalu mendewakan perasaan. Karut marut tak karuan, itulah yang ku rasakan. Hari ini ku coba tuk tak lagi menangisi suatu kepergian. Meski tak tertahankan, tetapi tetap ku paksakan.

Di waktu yang bersamaan, impian yang beberapa waktu silam ku rencanakan agaknya mendapat respon baik. Ya, betapa aku mengidamkan berdiri suatu perguruan pencak silat di wilayah pedesaan.

Sedih pun senang berjalan beriringan, membuat diriku begitu terheran-heran. Di sela-sela kesedihan, ku tertawa bersama khalayak ramai. Di balik papan ketik gawai, ku sembunyikan air mata dalam riangnya tawa dan gurauan.

Meski sebak yang ku rasa, betapa aku sungguh bahagia. Melihat semangat yang membara pada jiwa para pemuda. Semoga asa senantiasa terjaga, itulah yang ku harapkan pada sanding-Nya.

Tepat pada pertengahan Maret abad ke-21, ku buka lembaran baru tanpa hadirmu. Ku kemasi remah hati yang berserak, ku coba rekatkan meski tetap terlihat tak layak. Sungguh salah paham yang paling menyakitkan ialah aku yang tlah salah mengira bahwa dirimu datang membawa cinta. Sungguh sakit, sakit sekali rasanya.

Kau datang begitu manis, kemudian pergi begitu sadis. Lelah rasanya ku menangis, namun engkau? Sama sekali tak mau menggubris, tragis.

Dirimu ku banggakan, tetapi diriku sungguh hanya kau jadikan pelarian. Daku mencintaimu tanpa alasan, namun apa yang ku dapatkan? Hanya dipermainkan tanpa sedikitpun merasa kasihan. Sungguh betapa teganya dirimu, mensia-siakan seorang aku yang begitu tulus kepadamu.

Ku kira dikau adalah sosok yang setia, namun lagi dan lagi daku salah mengira. Setelah kau ku lepaskan, banyak kabar yang ku dapatkan terkait kedekatan dirimu dengan sesosok perempuan. Sial, mudah sekali daku kau lupakan.

Sungguh, agaknya daku menyesal mengenalmu tuan. Sejauh ini ku berkelana dalam buai asmaraloka, bersamamu lah daku benar-benar merasakan luka. Bersamamulah malamhmalam panjang ku habiskan dalam derai air mata.

Kini, kau kembali ku ikhlaskan. Pergilah sejauh mungkin, tanpa kembali lagi pada sandingku. Memang sulit, namun tetap harus ku lakukan. Sebab semua hanya perihal pembiasaan. Bukankah demikian?

Selamat jalan tuan, semoga setelah begitu banyak luka yang kau torehkan. Langkahmu senantiasa dilancarkan oleh Tuhan.

Atas hatiku yang hancur berantakan, kau tak perlu risau. Dengan ataupun tanpamu, agaknya sama saja. Aku tetaplah berjuang seorang diri, tanpa kau temani. Di sudut gelap penyesalan, ku kemasi remah hati sendirian.

Part 3 – Bukan Hanya Dibuat Patah

Melangkah untuk kembali patah, ya agaknya tepat sekali. Setelah bersusah payah ku coba berdamai dengan keadaan, kau kembali membawaku pada hiruk pikuk ketidakjelasan perasaan. Sebenarnya apa maksud kepulanganmu? Bukan sekali maupun dua kali, kau runtuhkan kepercayaan seorang aku berkali-kali.

“Sebegitu sibukkah dirimu? Sampai sedetik pun kau enggan mengabariku?” Tanyaku membuka obrolan

Hening tak bergeming, sama sekali tak ada balasan. Harusnya aku sadar, membalas pesanku saja ia begitu enggan. Apalagi membalas sebuah perasaan. Pesan demi pesan yang ku kirimkan hanya kau sisakan centang biru pada tab percakapan.

Berbagai macam kejanggalan telah banyak ku temukan. Rasa sakit yang beragam, telah banyak ku telan, dalam. Sesak sekali rasanya, saat ku temui nama sang mantan terpampang jelas pada salah satu akun sosialmu. Getir nian yang ku rasa, saat ku temui foto sang mantan kau jadikan salah satu profil akun sosialmu. Sial, aku kau campakkan, hanya sekedar kau jadikan pelampiasan. Dan dengan brutal kau buat hatiku benar-benar hancur berantakan.

*

“Assalaamu’alaikum, bagaimana hubunganmu dengan Saif?” Tanya Haikal, salah seorang teman Saif.

“Wa’alaikumussalaam, baik-baik saja. Apa akhir-akhir ini ia tengah sibuk?” Tanyaku kembali.

“Sibuk? Ah tidak. Aku sering bersamanya, akun sosial medianya sering online, yang ku tau ia pun sering ngegame online”

“Benarkah demikian adanya?”

“Ya, tentu.”

“Baiklah, terima kasih.”

Bukan aku tak percaya pada sosok seorang Saif, namun sungguh semua itu benar adanya. Sebelum aku bertanya, telah lebih dahulu aku mencari kebenarannya.

Lelah, raga ini mulai melemah.
Meski senja yang kulihat belumlah merah.
Bolehkah kini aku merebah?
Dalam gelap ruang dasar tanah?

Meninggalkan engkau dalam acuhmu.
Menjauh dari ucap yang hanya semu.
Sebab jiwaku pun temui titik jemu.
Dalam menanti nyata janjimu.

3 minggu sudah ku lalui hari-hari berat, dimana harusnya aku bahagia. Justru kian mengenyam luka demi luka. Agaknya tak kuat lagi ku menghadapinya. Ku rasa cukup sudah ku turunkan harga diri hanya demi mempertahankan hubungan ini. Namun, kau sama sekali tak mau mengerti, apalagi menghargai. Pertengahan Maret ku coba beranikah diri, mengutarakan segenap apa yang ku rasa dalam hati.

“Assalaamu’alaikum, bismillah. Bisakah sejenak ku minta waktu mu? Ada hal yang perlu kita bicarakan.” Ungkapku memecah keheningan.

“Wa’alaikumussalaam, perihal apa?”

“Perihal kita, yang semakin hari justru semakin asing.”

“Silakan.”

“Tidakkah kau sadari? Sungguh kita semakin asing akhir-akhir ini. Sosok yang ku temui beberapa bulan silam tampak begitu jauh berbeda dengan sosok yang sedang berbicara denganku kini. Ada apakah sebenarnya? Bosankah engkau terhadapku? Atau mungkin aku berbuat salah kepadamu?”

Suasana hening tak bergeming, seolah lari dari permasalahan kau biarkan pesanku tak terbalaskan.

“Jikalau memang daku bersalah, tolong katakan dimana letak kesalahannya. Berhari-hari ku nantikan kabar darimu. Ku habiskan hari demi hari tuk sekedar memikirkanmu. Malam-malam panjang dialektika akal dan perasaan menarik diriku dalam lamunan. Mencari cara agar kiranya mampu mempertahankan suatu hubungan.” Lanjutku.

“Serumit inikah perihal hati? Sampai aku benar-benar tak mengerti. Sebenarnya apa yang ingin kau kehendaki? Jikalau memang masih mampu tuk kita perbaiki, sudikah kiranya kau perbaiki? Atau jikalau mungkin kau sudah bosan, sudahi saja kisah kita. Sungguh aku tak mengapa.” Tawarku.

“Oke fine, ku akui. Diriku adalah lelaki munafik yang pernah kau temui. Hadirmu tidaklah menggangguku, hanya saja aku benar-benar ingin sendiri. Tidak ingin diganggu, pun tidak ingin lagi terikat dengan siapapun lagi. Jikalau kau tau, sekalinya seorang aku menyukai sesuatu. Aku bisa melupakan segalanya.” Jawabmu.

“Lantas, apa kau menyukaiku?”

“Ya, dulu aku memang menyukaimu. Namun, kini aku pun tak tau hatiku untuk siapa. Aku mati rasa!”

Bak dijatuhkan dari ketinggian, sungguh hatiku hancur berantakan. Sungguh, ku kira kepulanganmu adalah obat. Namun, kiranya aku salah. Justru dirimulah sakit hati terhebat. Nyeri nian yang ku rasa, bertemankan pena ku biarkan diksiku mendengar segala apa yang ku rasa.

14 Maret 2021
Aku berhasil untuk tidak menangisi hari ini tuan. Sebab kemarin air mata untukmu telah ku habiskan. Hingga saat aku benar-benar kehilangan sosokmu untuk kedua kalinya pun aku tetap tegar. Terima kasih ku haturkan teruntuk dikau manusia baik yang pernah dihadirkan Tuhan dalam kisah kehidupan. Terima kasih atas kepulanganmu dari kepergian sebelumnya, terima kasih atas kepercayaan yang kembali diruntuhkan, terima kasih telah memberiku aba-aba tuk kembali menyulam benang rasa yang sempat usai sebelum dimulai, terima kasih telah mengizinkanku memupuk rasa dengan remah hati penuh luka. Semoga engkau selalu bahagia. Do’aku masih sama, hanya saja redaksinya kini berbeda. Tidak lagi meminta tuk dapat hidup bersama, melainkan memohon tuk dapat dipersatukan dengan dia yang terbaik menurut-Nya saja. Ah sial! Berjuang sendirian ternyata amat melelahkan. Kini, aku benar-benar ikhlas dalam melepas. Perihal rasaku kemarin, kau tak perlu khawatir. Anggap saja perhatian2 kemarin adalah hadiah dari perkenalan kita sebelum berakhir.

Oktober kemarin kita dipertemukan, Desember aku kau tinggalkan. Januari kau datang berbagi luka yang kau terima. Februari aku kau buat bahagia, kemudian Maret, kau buat aku hancur sehancur-hancurnya. Terima kasih, tuan.

Part 2 – Melangkah Untuk Kembali Patah

“Bagaimana? Bisakah kita kembali seperti dahulu kala?” Tanyamu memecah keheningan.

“Entahlah, semua begitu hambar rasanya. Bukankah kau masih bersamanya? Jawabku mengalihkan pembicaraan.

“Sudah tidak lagi.”

“Mengapa demikian?”

“Ia katakan kepadaku, bahwasannya ia ingin fokus terhadap pelajaran.”

“Oh begitu, apa kau masih mencintainya?”

“Semakin memudar.” Singkatmu.

Apa ini duhai Tuhan? Mungkinkah Engkau perkenankan ia untukku? Hingga Kau izinkan dia kembali padaku. Sungguh aku merasa dilema, mengapa ia kembali disaat aku benar-benar mulai terbiasa tanpa hadirnya?

Aku terjebak pada salah satu syair yang artinya,

Jika engkau mencintai seseorang, biarkanlah ia pergi.
Jikalau ia kembali, maka ia akan menjadi milikmu.

Hari demi hari, ia memang kembali seperti halnya awal kita berkomunikasi. Perhatian-perhatian darinya rupanya perlahan mengikis pertahanan sang hati. Debar itu, agaknya mulai hadir ditengah rasa yang masih getir. Senyum itu, kembali tersungging pada bibir yang ku kira tlah lupa bagaimana caranya tersenyum.

Setelah kepergiannya begitu banyak hati yang mendekat. Namun, sungguh aku sama sekali tak terpikat. Kini, untuk kedua kalinya aku hanyut dibuatnya, berangan-angan hidup bersama. Sampai suatu ketika ia berhasil meluluhkan simpati ku, ia ceritakan padaku bahwasannya luka tlah menghujam relung hatinya. Sakit, sakit rasanya hatiku di kala mendengar semua itu.

Bersama remah hati yang masih belumlah rekat, ku sambut kepulangan setelah kepergian panjang. Hati yang ku kunci, kini ku biarkan terbuka kembali. Menyambut hadirnya, berharap kelak memperbaiki segalanya.

“Apa mau mu?” Tanyaku.

“Jalani saja dahulu, kita mengalir saja, ya.” Jawabmu.

“Apa kata mu? Mengalir?”

“Ya benar, mengalir.”

“Seperti halnya aliran air sungai, kita tak pernah tau kemana ia akan mengalir.”

“Terus bagaimana? Kau ingin seperti apa?”

“Jikalau memang kau serius, bisakah kita berkomitmen? Jikalau tidak, sungguh aku lebih baik kau tinggalkan.”

“Baiklah, aku serius terhadapmu.” Singkatnya

Detik waktu kian berlalu, bahagia yang ku harap agaknya hanya sekedar harap. Seorang aku begitu heran dibuatnya, setelah kemarin aku begitu istimewa, hari-hari setelahnya justru ia campakkan laksana barang yang tiadalah memiliki harga.

Berkali-kali ku kirim pesan, tak jua menemui balasan. Berkali-kali pula ku coba yakinkan, Mungkin ia tengah disibukkan pelajaran. Namun, sungguh ternyata semua diluar dugaan. Rupanya aku tengah dipermainkan oleh perasaan.

“Maaf ya, aku sibuk.” Tegasnya.

“Oh, ya. Maaf jikalau aku mengganggumu.”

“Iya, tak apa. Sudah dulu ya.” Tutupnya.

Singkat sekali, jangankan ratusan pesan dalam sehari. Pulusan pun tidak ku jumpai kini. Sungguh sangat berbanding terbalik dengan dahulu, Saat dimana ia mendekatiku.

Online

“Apa kabar? Bagaimana sekolahmu? Semoga selalu dilancarkan”
…..

Offline

Betapa aku merasa dihindari. Berulang kali ku tanyakan pada diri, apa kiranya salahku? Sampai dirimu begitu tega kepadaku. Apakah ini balasan atas sambutan hangatku terhadapmu? Apakah ini balasan cinta yang harus ku terima?

Semakin hari kita semakin asing, derai tangis selalu saja hadir meski berusaha ku tepis. Betapa pun nyeri yang ku rasa, daku enggan angkat kaki dari sandingnya.

Setiap hari selalu ku cari cara tuk tetap mencintaimu walau ku rasa percuma. Tak ingin rasa ini binasa, ku coba mengajak dirimu bicara, empat mata. Namun, lagi dan lagi bukan kata “iya” yang ku dapat, melainkan berbagai alasan yang ku peroleh.

Sungguh, aku benar- benar lelah.

Part 1 – Kepergian

“Aku tak mau kau semakin terluka, ikhlaskan kepergianku. Ku yakin, kau akan mendapatkan sosok lelaki yang jauh lebih baik dariku” Ucapmu, dibalik papan ketik gawaimu.

“Baiklah, jikalau memang kau berpikir demikian. Aku akan berusaha, semampu yang ku bisa. Pergilah, ku harap kau selalu bahagia bersamanya.” Jawabku, dalam sesak.

Lagi dan lagi, sayap asmara yang ku bangun sekuat tenaga kembali dipatahkan sedemikian hingga. Daku lunglai tak berdaya, meratapi jalan takdir yang mau tak mau harus ku terima, lara.

Kisah yang usai sebelum dimulai, agaknya sangat tepat sebagai tajuk cerita kita. Betapa pun aku berusaha, jikalau memang bukan diriku yang kau inginkan, aku bisa apa? Sungguh aku tak pernah mengira, kau begitu tega. Kau hadir mengoyak tenangnya jiwa, hanya sekedar untuk memporak-porandakan segala apa yang ada di dalamnya.

Sesuai pintamu, ku kemasi remah hati yang berserak. Berlinang air mata, ku coba rekatkan kembali puing demi puingnya. Berharap kelak kembali merekat, meski tetap memiliki sekat.

“Saif, sesuai dengan namamu. Kau benar-benar menjadi pedang yang tlah melibas habis hatiku, penuh darah.” Isakku

Sejak saat itu, hari demi hari sungguh berat ku lalui. Berderai tangis setiap kali ku mengingat kembali setumpuk kenangan yang pernah kau beri.

Hampir 2 bulan sudah daku mulai terbiasa tanpa hadirnya. Entah aku tak mengerti, sebenarnya apa yang Engkau rencanakan duhai Tuhan? Diluar prediksi, ia benar-benar Kau izinkan kembali. Tepat diantara malam dan fajar, setelah pada sanding-Mu daku memohon tuk selalu Kau kuatka, ku dapati sebuah sapaan apa kabar darinya. Sosok lelaki di masa silam, Saif al-Zein.

“Assalaamu’alaikum, apa kabar? Masihkah mengenalku?”

“Wa’alaikumussalaam, alhamdulillah baik. Oh tentu! Aku masih sangat jelas mengenalmu.”

“Syukurlah, by the way apakah aku mengganggumu?”

“Tidak.”

“Maaf!”

“Maaf untuk apa?”

“Maaf atas segala khilafku di masa lalu, maaf telah melukai hatimu, maaf untuk setiap salah yang pernah ku perbuat padamu.”

“Masa itu tlah berlalu, bukankah kini tlah kau temui bahagiamu? Perlu kau tau, jauh sebelum ini kau sungguh tlah ku maafkan.”

“Eee, agaknya dia sibuk. Sudah lama kami tak saling menyapa. Terima kasih, jikalau memang kau tlah memaafkanku.”

Sial, rupanya diriku hanya kau jadikan pelampiasan di kala bosan. Betapa harusnya sejak dahulu aku sadar, ah sudahlah sungguh aku tak mengapa.

“Lantas ihwal apa atas kedatanganmu padaku?” Tanyaku.

“Sungguh, aku ingin diperhatikan olehmu”

“Sadarkah dirimu atas apa yang kau ucapkan?”

“Aku masih dalam keadaan sadar.”

“Aku tak berhak memberikan perhatianku padamu, mintalah padanya. Seseorang yang kau anggap bahagiamu. Seseorang yang dengannya kau meninggalkanku.”

“Semua perhatian yang dulu ku dapatkan darimu, kini tak ku dapatkan darinya.”

“Oh jelas, sebab tak akan kau temui orang yang sepertiku pada diri orang lain. Aku adalah aku!”

“Aku ingin kita seperti dahulu lagi” Pintamu.

Seketika suasana hening menyelimuti obrolan kami malam itu. Sungguh pertahanan yang selama ini ku bangun agaknya hampir kembali runtuh. Namun, berkali-kali ku kuatkan, agar tak lagi salah menentukan langkah.

DUHAI SANTRI.. ENGKAULAH PONDASI NEGERI

Karya: Nurul Hikmah

Desir pasir terdengar lirih

Menyaksikan bergantinya senja

Senja hilang mengendap bungkam

Sayup hening diterkam kabut hitam

Gemuruh takbir tedengar syahdu

Terdengar riuh dalam keramaian

Untaian do’a terkesan merdu

Menyisakan tangis pilu dalam balutan haru

Heningnya malam beganti pagi

Sorak ramai mulai menghampiri

Menepis rindu yang kian menjadi

Kepada Baginda Nabi sang pujaan hati

Perjuangan haqiqi seorang santri

Bukan sekedar hanya diapresiasi

Bukan pula hanya sebatas tradisi

Namun perlu kita implementasi

Dalam kehidupan sehari-hari

Gelap gulita sirnalah sudah

Bangunlah wahai pemuda dari kelamnya zaman jahiliyyah

Mulailah melangkah mengibarkan tekad penuh semangat

Menyatukan niat, mewujudkan dengan sikap penuh martabat

Duhai Santri…

Engkaulah pondasi negeri

WANA ANTARA TAKHTA DAN WANITA

Karya: Nurul Hikmah

Rinai hujan membasahi pelataran sore itu

Sore sendu yang turut menghadirkan sajak pilu

Berharap senja tak lagi menjadi penyaru

Diantara kelamnya malam kelabu

Meski hanya berteman hujan halau mentua

Sang surya meredup tanpa dukacita

Menuju tempat peraduannya

Dibalik sudut cakrawala maya

Perihal wanita siapalah mampu menerka

Bak menyusuri wana antara takhta dan wanita

Tersesat dalam labirin fitnah dunia

Laksana berada diantara tabir-mabir penuh makna

Marahnya tak mau membuka suara

Melainkan diam seribu bahasa

Tangisnya pun terselubung

Tak mau mata lain turut berkabung

Luka hatinya ia balut dalam kalut

Sedalam apa yg mampu ia renggut

Cuatan tawa terpancar elok pada air muka

Walau hatinya sama sekali tidak sedang baik-baik saja

Wanita berperan bukan baperan

Kartini masa depan penggagas peradaban

Berani melangkah atas dasar emansipasi wanita

Sama sekali bukan untuk mencari muka

Berintelektual demi terbentuknya tatanan moral

Berintegritas demi meretas tabir kebodohan

Laksana serumpun padi nan kian berisi

Semakin merunduk tanpa berharap dikasihani

Salam dalam,

Pujangga amatiran

Yang tengah menikmati arunika di pagi hari

Bersama secangkir kopi dan puisi

Rancang situs seperti ini dengan WordPress.com
Ayo mulai