Melangkah untuk kembali patah, ya agaknya tepat sekali. Setelah bersusah payah ku coba berdamai dengan keadaan, kau kembali membawaku pada hiruk pikuk ketidakjelasan perasaan. Sebenarnya apa maksud kepulanganmu? Bukan sekali maupun dua kali, kau runtuhkan kepercayaan seorang aku berkali-kali.
“Sebegitu sibukkah dirimu? Sampai sedetik pun kau enggan mengabariku?” Tanyaku membuka obrolan
Hening tak bergeming, sama sekali tak ada balasan. Harusnya aku sadar, membalas pesanku saja ia begitu enggan. Apalagi membalas sebuah perasaan. Pesan demi pesan yang ku kirimkan hanya kau sisakan centang biru pada tab percakapan.
Berbagai macam kejanggalan telah banyak ku temukan. Rasa sakit yang beragam, telah banyak ku telan, dalam. Sesak sekali rasanya, saat ku temui nama sang mantan terpampang jelas pada salah satu akun sosialmu. Getir nian yang ku rasa, saat ku temui foto sang mantan kau jadikan salah satu profil akun sosialmu. Sial, aku kau campakkan, hanya sekedar kau jadikan pelampiasan. Dan dengan brutal kau buat hatiku benar-benar hancur berantakan.
*
“Assalaamu’alaikum, bagaimana hubunganmu dengan Saif?” Tanya Haikal, salah seorang teman Saif.
“Wa’alaikumussalaam, baik-baik saja. Apa akhir-akhir ini ia tengah sibuk?” Tanyaku kembali.
“Sibuk? Ah tidak. Aku sering bersamanya, akun sosial medianya sering online, yang ku tau ia pun sering ngegame online”
“Benarkah demikian adanya?”
“Ya, tentu.”
“Baiklah, terima kasih.”
Bukan aku tak percaya pada sosok seorang Saif, namun sungguh semua itu benar adanya. Sebelum aku bertanya, telah lebih dahulu aku mencari kebenarannya.
Lelah, raga ini mulai melemah.
Meski senja yang kulihat belumlah merah.
Bolehkah kini aku merebah?
Dalam gelap ruang dasar tanah?
Meninggalkan engkau dalam acuhmu.
Menjauh dari ucap yang hanya semu.
Sebab jiwaku pun temui titik jemu.
Dalam menanti nyata janjimu.
3 minggu sudah ku lalui hari-hari berat, dimana harusnya aku bahagia. Justru kian mengenyam luka demi luka. Agaknya tak kuat lagi ku menghadapinya. Ku rasa cukup sudah ku turunkan harga diri hanya demi mempertahankan hubungan ini. Namun, kau sama sekali tak mau mengerti, apalagi menghargai. Pertengahan Maret ku coba beranikah diri, mengutarakan segenap apa yang ku rasa dalam hati.
“Assalaamu’alaikum, bismillah. Bisakah sejenak ku minta waktu mu? Ada hal yang perlu kita bicarakan.” Ungkapku memecah keheningan.
“Wa’alaikumussalaam, perihal apa?”
“Perihal kita, yang semakin hari justru semakin asing.”
“Silakan.”
“Tidakkah kau sadari? Sungguh kita semakin asing akhir-akhir ini. Sosok yang ku temui beberapa bulan silam tampak begitu jauh berbeda dengan sosok yang sedang berbicara denganku kini. Ada apakah sebenarnya? Bosankah engkau terhadapku? Atau mungkin aku berbuat salah kepadamu?”
Suasana hening tak bergeming, seolah lari dari permasalahan kau biarkan pesanku tak terbalaskan.
“Jikalau memang daku bersalah, tolong katakan dimana letak kesalahannya. Berhari-hari ku nantikan kabar darimu. Ku habiskan hari demi hari tuk sekedar memikirkanmu. Malam-malam panjang dialektika akal dan perasaan menarik diriku dalam lamunan. Mencari cara agar kiranya mampu mempertahankan suatu hubungan.” Lanjutku.
“Serumit inikah perihal hati? Sampai aku benar-benar tak mengerti. Sebenarnya apa yang ingin kau kehendaki? Jikalau memang masih mampu tuk kita perbaiki, sudikah kiranya kau perbaiki? Atau jikalau mungkin kau sudah bosan, sudahi saja kisah kita. Sungguh aku tak mengapa.” Tawarku.
“Oke fine, ku akui. Diriku adalah lelaki munafik yang pernah kau temui. Hadirmu tidaklah menggangguku, hanya saja aku benar-benar ingin sendiri. Tidak ingin diganggu, pun tidak ingin lagi terikat dengan siapapun lagi. Jikalau kau tau, sekalinya seorang aku menyukai sesuatu. Aku bisa melupakan segalanya.” Jawabmu.
“Lantas, apa kau menyukaiku?”
“Ya, dulu aku memang menyukaimu. Namun, kini aku pun tak tau hatiku untuk siapa. Aku mati rasa!”
Bak dijatuhkan dari ketinggian, sungguh hatiku hancur berantakan. Sungguh, ku kira kepulanganmu adalah obat. Namun, kiranya aku salah. Justru dirimulah sakit hati terhebat. Nyeri nian yang ku rasa, bertemankan pena ku biarkan diksiku mendengar segala apa yang ku rasa.
14 Maret 2021
Aku berhasil untuk tidak menangisi hari ini tuan. Sebab kemarin air mata untukmu telah ku habiskan. Hingga saat aku benar-benar kehilangan sosokmu untuk kedua kalinya pun aku tetap tegar. Terima kasih ku haturkan teruntuk dikau manusia baik yang pernah dihadirkan Tuhan dalam kisah kehidupan. Terima kasih atas kepulanganmu dari kepergian sebelumnya, terima kasih atas kepercayaan yang kembali diruntuhkan, terima kasih telah memberiku aba-aba tuk kembali menyulam benang rasa yang sempat usai sebelum dimulai, terima kasih telah mengizinkanku memupuk rasa dengan remah hati penuh luka. Semoga engkau selalu bahagia. Do’aku masih sama, hanya saja redaksinya kini berbeda. Tidak lagi meminta tuk dapat hidup bersama, melainkan memohon tuk dapat dipersatukan dengan dia yang terbaik menurut-Nya saja. Ah sial! Berjuang sendirian ternyata amat melelahkan. Kini, aku benar-benar ikhlas dalam melepas. Perihal rasaku kemarin, kau tak perlu khawatir. Anggap saja perhatian2 kemarin adalah hadiah dari perkenalan kita sebelum berakhir.
Oktober kemarin kita dipertemukan, Desember aku kau tinggalkan. Januari kau datang berbagi luka yang kau terima. Februari aku kau buat bahagia, kemudian Maret, kau buat aku hancur sehancur-hancurnya. Terima kasih, tuan.